Prolog : sudah lama saya tidak menulis. Ketika saya akan mulai lagi, saya terjebak dalam keinginan untuk membuat tulisan yang keren, yang intelek, yang mengutip sana sini, dengan banyak referensi dan sebagainya. Akhirnya karena gagal, saya kembali lagi pada sebab awal saya suka menulis. Karena saya suka bercerita. Maka kali inipun saya akan melakukan pemanasan dengan bercerita. Silakan menyimak.
Suatu hari, ada seseorang yang mengirim pesan dengan memberi komentar pada salah satu tulisan saya di blog ini. Namanya Nanda, dia mahasiswi Bina Nusantara Jakarta yang sedang mengerjakan tugas akhir. Nanda kuliah di jurusan Desain Komunikasi Visual, dan ingin membuat sebuah buku panduan wisata, dengan foto dan desain yang menarik, mengambil tema Pecinan Semarang. Saya senang, karena kebiasaan saya menulis tentang Pecinan ternyata membawa peluang ini : dia meminta saya menjadi copywriter dari buku tersebut. Setelah beberapa kali berkirim email, akhirnya kami melakukan riset bersama selama satu minggu di Pecinan. Entah kenapa, selalu saja ada hal yang menarik kaki saya kembali ke sana.
Sebelumnya kami berusaha memetakan apa dan bagaimana Pecinan Semarang akan dikemas dalam sebuah buku. Setelah beres, kami mulai menyusuri jalan dan gang di Pecinan, memotret dan mewawancarai narasumber. Walaupun ini bukan kali pertama saya melakukan riset di Pecinan, tapi saya selalu merasa akan menemukan hal baru. Semangat saya itu dan ketidakraguan saya untuk membuka percakapan dengan orang baru membuat salah satu teman saya yang lain berkata bahwa saya bisa jadi antropolog yang baik, daripada jadi lulusan HI yang tidak hafal berapa jumlah negara anggota ASEAN sekarang. Berapa sih? Tujuh? Delapan? Saya juga tidak tahu kalau Jerman itu punya presiden sebelum saya ke sana, bahkan saya selalu lupa : jadi Barrack Obama itu Republik atau Demokrat? Hehehe…
Sayapun meminta diracikkan obat diare. Dengan gesit Om Aming mengambil selembar kertas sampul buku coklat yang sudah digunting ukuran 30cmx30cm, mengguntingnya kecil-kecil, merebusnya dan meminta saya meminum air rebusannya. Hehe, enggak kok. Kertas itu ditaruhnya di atas meja kayu panjang, singgasananya meracik obat. Lalu ia membuka laci-laci di belakangnya. Ia pun mengambil rempah-rempah di laci tersebut sambil menyebut namanya satu persatu, “ Satu cie Wang Fung, satu cie Wang Yen, satu cie Pak Sok, satu cie Kayu Manis dan satu cie King Kay. King Kay ini untuk mengusir angin di badan,” saya dan Nanda manggut-manggut. Berasa sedang dalam satu scene film Kung Fu. Ramuan itupun dia berikan pada saya gratis. Dan maaf, Om, tapi sampai sekarang belum saya minum karena sebenarnya saya nggak diare.
Ada beberapa metode membeli obat di Shinse. Salah satunya adalah dengan mengaku-ngaku punya penyakit diare seperti saya tadi dan cara lain adalah dengan membawa Ciam Sie. Ciam Sie itu semacam resep, tapi bukan sembarang resep. Resep ini berisi syair Cina yang bisa didapat di kelenteng-kelenteng terdekat di kota anda. Jadi untuk mendapat Ciam Sie, seseorang yang sedang sakit harus sembayang dulu dengan membakar Hio, biasanya pada Poo Seng Tay Tee –salah satu Dewa Obat, untuk meminta kesembuhan. Setelah sembayang, langkah berikutnya ada mengocok tabung berisi bilah-bilah kayu tipis bernomor. Nanti yang keluar nomor berapa, langsung bisa dimintakan kertas Ciam Sie yang sesuai nomornya pada petugas kelenteng.
Kertas kecil itulah yang kemudian dibawa ke Shinse. Yang tertulis di situ masih dalam aksara Cina, dan kadang benar-benar hanya berisi syair saja, tanpa ada keterangan obatnya. Lalu bagaimana seorang Shinse bisa tau apa obat yang dibutuhkan? “ Itulah gunanya sekolah 5 tahun di Shanghai, nik,” kata Om Aming. Iya deh, Om. Om Aming berkata, bahwa belajar meracik ini tidak mudah, karena harus mempelajari banyak hal, salah satunya bahasa, syair dan budaya Cina. Maka ia berujar, sebenarnya bisa saja orang pribumi belajar meracik obat asal bisa bahasa Cina (entah Mandarin atau Hokkian?).
Beberapa hari sebelum mengunjungi toko Om Aming, saya sedang tenggelam dalam novel Dee terbaru berjudul Partikel. Novel tersebut bercerita bagaimana bumi telah memberikan banyak hal pada kita, dan bahwa kita adalah bagian dari alam. Kita manusia berbagi gen yang sama bahkan dengan tanaman jagung. Di novel itu juga diceritakan mengenai bermacam-macam tanaman yang bisa menimbulkan efek magis pada tubuh manusia. Bacalah buku itu, maka anda pasti akan merasa kecil. Bukan hanya di hadapan Tuhan, tapi di hadapan alam ini.
Mengunjungi Om Aming dan bermain-main dengan rempah-rempahnya, membuat saya yakin bahwa karena kita adalah bagian dari alam, maka jika ada yang salah dengan tubuh ini, bolehlah kita mencoba duduk bersama alam sambil menyeruput sedikit bagian darinya hangat-hangat.